Dua tahun yang lalu, Kotagede diserbu gerombolan orang asing. Mereka datang
berbondong-bondong ke salah satu kampung di daerah itu. Dengan bekal secuil
ilmu, berupaya untuk menerapkannya ke lingkungan masyarakat Kotagede. Sehingga terjadilah
sebuah perpaduan yang apik antara dua kelompok yang berbeda kultur dalam sebuah
lingkup yang sama. Kegiatan itu berada dalam naungan sebuah event
bernama Diskomfest.
Diskomfest merupakan event dua tahunan yang digiatkan
mahasiswa Program Studi Desain Komunikasi Visual (DKV) ISI Yogyakarta. Tahun
itu sudah pelaksanaannya yang keempat. Diskomfest #4 mengambil tema Culture
Expansion. Kegiatan di Kotagede merupakan sub event dari event
besar ini, dan diberi nama "Kampus to Kampung". Penggarapannya
dilaksanakan dalam dua jalur, yaitu penggarapan sign system dan komik
Kotagede.
Jalan-jalan #1 : JJS ( Jalan-jalan Siang )
Untuk melancarkan serangannya, tim Diskomfest #4 melakukan
observasi terlebih dahulu. Perjalanan besar ke Kotagede dimulai dari penyebaran
poster lewat Facebook dan papan pengumuman di kampus. Poster itu mengajak
teman-teman dkv ISI Yogyakarta untuk kumpul di makam Kotagede pada hari Rabu 10
Februari 2010, pukul 09.00 WIB.
Hari Rabu itu, panitia datang ke Kotagede bersama Bapak Sumbo
Tinarbuko (konsultan desain, dosen Desain Komunikasi Visual Fakultas Seni Rupa
dan Program Pasca Sarjana ISI Yogyakarta). Mereka berjalan menyusuri jalanan
Kotagede bagian selatan, dipandu oleh M. Natsir Chirzin (pemilik Yayasan
Kantil). Perjalanan dimulai dari Kampung Pekaten, melewati pasar, masjid besar
Mataram, sendang Selirang, rumah Rudi Pesik, kemudian beristirahat di Pos
Malang kelurahan Jagalan. Setelah itu kembali ke kantor Yayasan Kantil di
Pekaten.
Dalam perjalanan itu, Pak Natsir menceritakan hal-hal
tentang Kotagede, mulai dari sejarah, mitos, sampai dengan kondisi ekonomi
budaya masyarakat Kotagede dulu dan sekarang. Beliau juga bercerita perihal
tempat-tempat yang dilalui. Di pasar Kotagede, diceritakan tentang aktivitas
yang berlangsung duapuluhempat jam dalam sehari. Dibicarakan juga nama Gardu
Anim yang terletak di pojok utara barat pasar dan nama Pacaksuji di pojok
timurnya.
Melewati rumah Rudi Pesik, Pak Natsir bercerita tentang gang
soka (dalam pengucapan Jawa dibaca soko). Nama soka diberikan karena di
ujung gang itu dahulu pernah tumbuh pohon soka. Sampai saat ini, masyarakat
menyebut gerbang gang tersebut dengan nama soka. Ketika singgah di Pos Malang,
diceritakan bahwa tempat itu dulunya merupakan tempat istirahat para pedagang
atau siapapun yang berjalan dari daerah Bantul menuju pasar Kotagede.
![]() |
rumah Rudi Pesik |
Jalan-jalan #2 : Membagi Tugas
Jalan-jalan hari pertama cukup memberi wawasan tentang
Kotagede. Di hari kedua, sudah dibentuk lima tim untuk memudahkan pendataan
tentang Kotagede, yaitu tim heritage, industri,
kerajinan, kuliner, dan kesenian daerah. Target jalan-jalan kedua ini adalah
untuk mengetahui titik-titik di Kotagede yang berkaitan dengan lima bahasan
yang sudah dikelompokkan.
Berkumpul di kantor Yayasan Kantil, Pak Natsir menambahkan
cerita tentang Kotagede. Beliau berharap kerjasama mahasiswa dkv ISI Yogyakata
dengan Yayasan Kantil mampu mengenalkan Kotagede ke dunia luar,
menginformasikan bahwa di Kotagede tak hanya ada perak, tapi masih ada
potensi-potensi lain yang membuat Kotagede ini menarik dan wajib dikunjungi.
Selain itu, beliau menyayangkan jika budaya dan kisah orang-orang Kotagede sampai
hilang begitu saja.
Sekitar limabelas mahasiswa bersama Pak Natsir berangkat
melewati rumah-rumah di kampung Pekaten. Ditunjukkan olehnya rumah-rumah Joglo,
rumah para penjahit di Pekaten, rumah para pembuat serta penjual makanan khas
dan unik di Kotagede. Di perjalanan, ketua Yayasan Kantil ini menyapa warga
Pekaten yang berpapasan dan mengenalkan kami ke mereka, "Iki lho, ono
mahasiswa ISI arep KKN neng kene". Jalan-jalan hari kedua berakhir petang
hari di angkringan sebelah timur kampong Pekaten.
Bergerak!
Dengan bekal petunjuk dari Pak Natsir, tim observasi yang
sudah terbagi dalam lima kelompok selanjutnya bergerak sendiri-sendiri. Tim
kuliner berkeliling Kotagede mencari tempat pembuat dan penjual makanan unik di
sana, mewawancara pemilik, serta mencari data visualnya. Begitu juga dengan tim
lain yang bergerak di bidang masing-masing.
Tim industri dan kerajinan mendapati kebanyakan industri di
Kotagede adalah home industry yang dikelola dengan system kekeluargaan.
Pegawainya pun orang sekitar daerah itu juga. Dalam proses wawancara dengan salah
satu pemilik usaha kerajinan perak, diketahui keluh kesah mereka dalam
menjalankan usaha di Kotagede itu, yang kebanyakan merupakan usaha turun
temurun. Dahulu usaha mereka bisa dikatakan berjalan mulus, namun seiring
berputarnya waktu, iklim usaha mulai berubah, dan kompetitor pun bermunculan
dengan berbagai strategi pasar yang berbeda. Sebagian pemilik usaha masih tetap
bertahan, sementara yang lain mengambil kerja sambilan di bidang lain, bahkan
meninggalkan turun-temurun tersebut.
Ronda Sampai Pagi
Untuk lebih mengakrabkan diri dengan warga, tim Diskomfest
mengikuti kegiatan ronda di daerah itu. Pertama dilakukan di kampung Jagalan,
sebelah selatan jalan Mondorakan, sebelah barat rumah Rudi Pesik. Dari situ,
selain lebih akrab dengan warga, juga diketahui banyak hal lebih dalam tentang
Kotagede.
Bapak-bapak di ronda begitu terbuka kepada kami. Pernah kami
ikut ronda sampai pagi, meski harus berangkat ke kampus dengan menahan kantuk
karena obrolan yang tak ada habisnya dengan bapak-bapak di sana. Kami juga
bertemu dengan musisi-musisi keroncong yang masih aktif berlatih. Di Kotagede
terdapat banyak kelompok Orkes Keroncong. Sebagian besar anggotanya berusia
lebih dari tigapuluh tahun.
Kampung Pekaten
Setelah dilakukan observasi, diperoleh data yang cukup
banyak tentang Kotagede. Namun, setelah dipertimbangkan lebih matang, tidaklah
mudah untuk menggarap sebuah acara yang melibatkan masyarakat dalam cakupan
wilayah yang cukup luas ini. Diperlukan koordinasi dengan pengurus masing-masing
kampung, serta rembugan yang cukup intens dengan warga. Dengan jumlah
tenaga yang terbatas, tim bersama Pak Sumbo dan Pak Natsir memutuskan untuk
mempersempit wilayah kerja, dari seluruh Kotagede bagian selatan menjadi daerah
loring pasar saja, yaitu kampung Pekaten.
Sebagai daerah sampel Kotagede, kampung Pekaten banyak mengandung nilai historis bagi Kotagede sendiri. Menurut penduduk setempat, nama Pekaten berasal dari kata pekathik, yang artinya orang yang bertugas mengurus kuda kerajaan. Pada masa keraajaan Mataram Islam, daerah itulah yang menjadi tempat para pekathik. Suasana Kotagede dengan gang-gang sempitnya juga bisa ditemui di kampung ini. Suasa guyub rukun pun cukup kental.
Di sana tidak dibahas
lagi tentang pembagian tim di awal perjalanan, tapi fokus untuk menggarap
rambu-rambu penanda (sign system) kampung seperti rambu yang mengatur
jam bertamu, jam belajar masyarakat, di mana saja pengendara harus turun dari
kendaraan, di mana harus berjalan pelan-pelan, papan nama kampung, dan lain
sebagainya.
Sumber gambar:
http://tripholiday.net/images/uploads/Kotagede-1.JPG
http://dhetaehtmaerd.wordpress.com/2011/01/30/ambigram-logo-for-diskomfest-4/
http://dhetaehtmaerd.wordpress.com/2011/01/30/ambigram-logo-for-diskomfest-4/
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEji4Po6VeKaf3SEkg50pqWSIz_sRBJPyZVSPUNWKyNq8KE717xAsn_yR7cSR6NBi_2nYXB9xQ3juJ8k_Dm8n84d-EzjviOLG14I4huPPu_tTXj_21ep8-GV5fjcLKHLQHqV6WmN4IoKdKbE/s1600/kotagede.jpg
http://bintangklik.files.wordpress.com/2010/02/046_9cm_b.jpg
http://bintangklik.files.wordpress.com/2010/02/046_9cm_b.jpg
http://dgi-indonesia.com/wp-content/uploads/2010/10/maskot-kotagede.jpg
Komentar
Posting Komentar