Lusa (Sabtu malam), saya datang ke Monumen Serangan Umum 1 Maret, sisi utara pojokan lampu merah Kantor Pos Besar.
Di sana ada acara pentas seni yang diadakan oleh perkumpulan mahasiswa Riau di Yogyakarta. Acara itu diselenggarakan dalam rangka ultah perkumpulan mereka yang ke6 (kalau tidak salah). Saya masih ingat kata-kata sambutan ketua perkumpulannya, "Kita jauh-jauh dari Riau, berada di Jogja, tidak hanya berfoya-foya menghabiskan uang orang tua. Tapi inilah karya kita ... bla bla bla .. "
Salut untuk teman-teman dari Riau!
Hubungan mereka yang solid, berada di negeri orang, mampu mengumpulkan masa sebanyak itu, dan menyelenggarakan acara yang meriah.
Penonton malam hari itu berasal dari dari berbagai daerah. Terlihat dari fisik dan gaya bicaranya. Ada orang asli Jogja, Jakarta, Riau, Sulawesi, sampai dengan turis dari negara barat dan negara matahari terbit. Saya sempat ngobrol dengan salah satu penonton yang ternyata mahasiswa dari Sulawesi. Gaya bahasanya khas sekali (maksud saya, khas luar Jawa). Menurutnya, di Jogja juga ada perkumpulan mahasiswa Sulawesi, dan ada asramanya juga.
Mungkin keeratan hubungan mahasiswa luar Jawa, salah satunya karena keberadaan mereka di sini adalah sebagai kaum minoritas, yang merasa lebih nyaman kalau bergabung dengan teman satu daerah asal. Lebih nyaman untuk berbicara, dan nyambung dalam guyonan (bercandaan).
Kekayaan Indonesia
Menonton pertunjukan yang asing bagi kita, bisa menjadi suatu yang menarik, atau malah menjadi hal yang membosankan. Kita tidak tahu apa yang mereka bicarakan, karena pertunjukannya menggunakan bahasa Melayu yang dipakai di Kepulauan Riau. Cara bercandanya pun mungkin sedikit berbeda dengan yang di Jawa. Tetapi, kenapa ketika berkunjung di Bali, sebagian besar begitu antusias dengan tarian Bali? Padahal sama-sama budaya asing bagi masyarakat Jawa.
Jawabannya mungkin kebanyakan sepakat bahwa kebudayaan Bali sudah dicap sebagai kebudayaan yang eksotis, dengan gerakan tari yang unik, hasil karyanya yang lain dari yang lain. Bahkan, Bali sudah dijadikan obyek turisme sejak awal abad ke-20 oleh perhimpunan turisme Belanda, Vereeniging Toeristen Verkeer (Ahmad Sunjayadi, 2007).
Berbeda dengan kebudayaan Riau yang cenderung lebih sederhana, dan dapat dikatakan sudah terpengaruh dengan kebudayaan yang lebih baru (dibanding Bali). Terlihat dari bentuknya, pengaruh Hindu di Bali masih kental, sementara Riau lebih menonjol dengan pengaruh Islam.
Nah, tidak Bali, tidak Riau, keduanya tetap menarik bagi saya. Inilah kekayaan kebudayaan Indonesia. Saya jarang menonton secara langsung pertunjukan Riau sebelumnya.
Waton Ngguyu
"Apa sih itu?"
"Maksudnya apa sih?"
"Eh, itu cowo apa cewe ya?"
Beberapa lontaran pertanyaan yang keluar dari mulut teman saya ketika menonton sebuah pertunjukan teatrikal khas Riau. Ya, kami sama-sama orang Jawa yang belum akrab dengan pertunjukkan ini.
Setelah teman saya yang tadi pulang, saya bergabung dengan teman saya yang berasal dari kepulauan Natuna, bagian dari provinsi kepulauan Riau. Saya berharap bisa mendapat penjelasan dari percakapan yang dilontarkan (pertunjukan tersebut menggunakan bahasa daerah Riau). Ternyata dia juga tidak mengerti bahasa adat sana. Hadeeeh, cpe deh :p ... Tapi dia masih sedikit lebih paham dari pada saya. Saya harus mendengar kata-kata dengan seksama, karena terkadang sama dengan bahasa Indonesia, hanya pengucapannya saja yang memakai logat khas.
Saya melongo saja ketika ada beberapa orang tertawa mendengar percakapan di pertunjukan itu, dan kadang juga ikut tertawa (karena gerakannya lucu :D).
Pertunjukan drama yang terakhir saya tonton, ceritanya sederhana, yaitu tentang penindasan oleh preman kepada rakyat bawah, kemudian ada pahlawan yang melawan preman, dan akhirnya preman menyerah. Namun, yang agak menggelitik adalah munculnya sosok penyanyi bergitar di tengah-tengah adegan drama. Penyanyi tersebut memakai rambut palsu yang dibelah tengah, dan memakai kacamata bening frame hitam. Nah, persis seperti Gayus Tambunan. Sosok itu muncul dua kali, dan mengundang gelak tawa para penonton, memecah keseriusan adegan drama.
Sebagai penutup pertunjukan, tiba-tiba datang sesosok laki-laki memakai pakaian adat Jawa, kulit sawo matang, berkumis panjang.
"Hua hua hua ... Akan kukabulkan tiga permintaan", ucapnya dengan logat Jawa seperti dalam iklan operator seluler.
Si gayus pun meminta agar segala bentuk penindasan, korupsi, dan segala bentuknya dihapus dari Indonesia.
"Ha ha ha ... Itu bisa diatur, tapi ada 'ini'nya", ucapnya sambil mengesek-gesekkan ibu jari dan telunjuknya, tanda minta duit.
Tawa dari penonton pun kembali terdengar riuh. Akhirnya, pertunjukan selesai. Pesan dari pertunjukkan tersebut, mungkin bentuk-bentuk korupsi yang ada di Indonesia tidak akan pernah bisa dibasmi.
Acara malam hari itu ditutup dengan dimainkannya lagu daerah Riau, dan seluruh pengisi acara turun ke depan, menari bersama dengan wajah ceria. Ada penonton yang ikut menari di depan. Sepertinya dia berasal dari Riau juga.
Saya melihat kebersamaan dan kegembiraan dari mereka, kegembiraan ketika berkumpul bersama. Sejenak rasa kembali ke tanah kepulauan Riau, bersama orang-orang yang akrab tentunya. Di dalam balutan pakaian yang serba menyala (warna kainnya), dan backdrop warna hijau, merah,dan kuning (bukan rasta loh) membawa pesan bahwa mereka adalah kaum yang ceria, semangat, dan berbahagia.
Sekali lagi, aplaus bagi mahasiswa kepulauan Riau!
Akhirnya tulisan saya muncul lagi, setelah beberapa lama tidak sempat nulis. :)
Foto bukan dokumentasi acara, ambil dari:
http://massahar-tiga.blogspot.com/2010/03/sarana-penyelamatan-khasanah-budaya.html
http://beritabatavia.com/gambar/8gayus.jpg
Di sana ada acara pentas seni yang diadakan oleh perkumpulan mahasiswa Riau di Yogyakarta. Acara itu diselenggarakan dalam rangka ultah perkumpulan mereka yang ke6 (kalau tidak salah). Saya masih ingat kata-kata sambutan ketua perkumpulannya, "Kita jauh-jauh dari Riau, berada di Jogja, tidak hanya berfoya-foya menghabiskan uang orang tua. Tapi inilah karya kita ... bla bla bla .. "
Salut untuk teman-teman dari Riau!
Hubungan mereka yang solid, berada di negeri orang, mampu mengumpulkan masa sebanyak itu, dan menyelenggarakan acara yang meriah.
Penonton malam hari itu berasal dari dari berbagai daerah. Terlihat dari fisik dan gaya bicaranya. Ada orang asli Jogja, Jakarta, Riau, Sulawesi, sampai dengan turis dari negara barat dan negara matahari terbit. Saya sempat ngobrol dengan salah satu penonton yang ternyata mahasiswa dari Sulawesi. Gaya bahasanya khas sekali (maksud saya, khas luar Jawa). Menurutnya, di Jogja juga ada perkumpulan mahasiswa Sulawesi, dan ada asramanya juga.
Mungkin keeratan hubungan mahasiswa luar Jawa, salah satunya karena keberadaan mereka di sini adalah sebagai kaum minoritas, yang merasa lebih nyaman kalau bergabung dengan teman satu daerah asal. Lebih nyaman untuk berbicara, dan nyambung dalam guyonan (bercandaan).
Kekayaan Indonesia
Menonton pertunjukan yang asing bagi kita, bisa menjadi suatu yang menarik, atau malah menjadi hal yang membosankan. Kita tidak tahu apa yang mereka bicarakan, karena pertunjukannya menggunakan bahasa Melayu yang dipakai di Kepulauan Riau. Cara bercandanya pun mungkin sedikit berbeda dengan yang di Jawa. Tetapi, kenapa ketika berkunjung di Bali, sebagian besar begitu antusias dengan tarian Bali? Padahal sama-sama budaya asing bagi masyarakat Jawa.
Jawabannya mungkin kebanyakan sepakat bahwa kebudayaan Bali sudah dicap sebagai kebudayaan yang eksotis, dengan gerakan tari yang unik, hasil karyanya yang lain dari yang lain. Bahkan, Bali sudah dijadikan obyek turisme sejak awal abad ke-20 oleh perhimpunan turisme Belanda, Vereeniging Toeristen Verkeer (Ahmad Sunjayadi, 2007).
Berbeda dengan kebudayaan Riau yang cenderung lebih sederhana, dan dapat dikatakan sudah terpengaruh dengan kebudayaan yang lebih baru (dibanding Bali). Terlihat dari bentuknya, pengaruh Hindu di Bali masih kental, sementara Riau lebih menonjol dengan pengaruh Islam.
Nah, tidak Bali, tidak Riau, keduanya tetap menarik bagi saya. Inilah kekayaan kebudayaan Indonesia. Saya jarang menonton secara langsung pertunjukan Riau sebelumnya.
Waton Ngguyu
"Apa sih itu?"
"Maksudnya apa sih?"
"Eh, itu cowo apa cewe ya?"
Beberapa lontaran pertanyaan yang keluar dari mulut teman saya ketika menonton sebuah pertunjukan teatrikal khas Riau. Ya, kami sama-sama orang Jawa yang belum akrab dengan pertunjukkan ini.
Setelah teman saya yang tadi pulang, saya bergabung dengan teman saya yang berasal dari kepulauan Natuna, bagian dari provinsi kepulauan Riau. Saya berharap bisa mendapat penjelasan dari percakapan yang dilontarkan (pertunjukan tersebut menggunakan bahasa daerah Riau). Ternyata dia juga tidak mengerti bahasa adat sana. Hadeeeh, cpe deh :p ... Tapi dia masih sedikit lebih paham dari pada saya. Saya harus mendengar kata-kata dengan seksama, karena terkadang sama dengan bahasa Indonesia, hanya pengucapannya saja yang memakai logat khas.
Saya melongo saja ketika ada beberapa orang tertawa mendengar percakapan di pertunjukan itu, dan kadang juga ikut tertawa (karena gerakannya lucu :D).
Pertunjukan drama yang terakhir saya tonton, ceritanya sederhana, yaitu tentang penindasan oleh preman kepada rakyat bawah, kemudian ada pahlawan yang melawan preman, dan akhirnya preman menyerah. Namun, yang agak menggelitik adalah munculnya sosok penyanyi bergitar di tengah-tengah adegan drama. Penyanyi tersebut memakai rambut palsu yang dibelah tengah, dan memakai kacamata bening frame hitam. Nah, persis seperti Gayus Tambunan. Sosok itu muncul dua kali, dan mengundang gelak tawa para penonton, memecah keseriusan adegan drama.
Sebagai penutup pertunjukan, tiba-tiba datang sesosok laki-laki memakai pakaian adat Jawa, kulit sawo matang, berkumis panjang.
"Hua hua hua ... Akan kukabulkan tiga permintaan", ucapnya dengan logat Jawa seperti dalam iklan operator seluler.
Si gayus pun meminta agar segala bentuk penindasan, korupsi, dan segala bentuknya dihapus dari Indonesia.
"Ha ha ha ... Itu bisa diatur, tapi ada 'ini'nya", ucapnya sambil mengesek-gesekkan ibu jari dan telunjuknya, tanda minta duit.
Tawa dari penonton pun kembali terdengar riuh. Akhirnya, pertunjukan selesai. Pesan dari pertunjukkan tersebut, mungkin bentuk-bentuk korupsi yang ada di Indonesia tidak akan pernah bisa dibasmi.
Acara malam hari itu ditutup dengan dimainkannya lagu daerah Riau, dan seluruh pengisi acara turun ke depan, menari bersama dengan wajah ceria. Ada penonton yang ikut menari di depan. Sepertinya dia berasal dari Riau juga.
Saya melihat kebersamaan dan kegembiraan dari mereka, kegembiraan ketika berkumpul bersama. Sejenak rasa kembali ke tanah kepulauan Riau, bersama orang-orang yang akrab tentunya. Di dalam balutan pakaian yang serba menyala (warna kainnya), dan backdrop warna hijau, merah,dan kuning (bukan rasta loh) membawa pesan bahwa mereka adalah kaum yang ceria, semangat, dan berbahagia.
Sekali lagi, aplaus bagi mahasiswa kepulauan Riau!
Akhirnya tulisan saya muncul lagi, setelah beberapa lama tidak sempat nulis. :)
Foto bukan dokumentasi acara, ambil dari:
http://massahar-tiga.blogspot.com/2010/03/sarana-penyelamatan-khasanah-budaya.html
http://beritabatavia.com/gambar/8gayus.jpg
Komentar
Posting Komentar