Nama Ki Ageng Mangir tidak asing dalam sejarah Mataram yang meninggalkan sisa kejayaannya di Kotagede. Mangir adalah nama daerah yang berada di 20 km barat daya Kotagede. Penguasa daerah itu diberi julukan Ki Ageng Mangir. Sosok Ki Ageng Mangir yang terkenal bernama asli Wanabaya. Dia adalah musuh sekaligus menantu Panembahan Senapati yang mati di singgasana Senapati, dikubur di Kotagede.
Hari Ahad kemarin, saya dan teman-teman jalan-jalan ke petilasan Ki Ageng Mangir di desa Mangir. Belum ada yang pernah ke sana sebelumnya. Hanya berbekal arahan dari teman dan mbah Google. Tempatnya dekat dengan kali Progo. Berada di tengah-tengah pedesaan yang jarak satu rumah ke rumah lainnya masih berjauhan. Sebagian besar mata pencaharian penduduk adalah tani, sehingga kami melewati hamparan sawah yang luas. Sudah menguning, tapi masih didominasi warna hijau. Wow banget. Tapi lupa tidak terekam kamera :D
Dari jalan besar, kami diberi petunjuk berupa pos ronda, jembatan, belokan, belokan, dan belokan. Ketika sudah melihat sungai besar, berarti lokasi sudah dekat.
"Lurus saja, ikuti jalan utama, ketemu jalan aspal, belok kanan" tutur ibu-ibu di tepi jalan. Penanda utama lokasi tersebut adalah sebuah pintu gerbang dari batu bata. Obyek yang pertama kami datangi adalah singgasana Ki Ageng Mangir yang berupa batu berbentuk persegi. Batu tersebut berada di bawah bohon, dikelilingi pagar putih.
Menurut ibu-ibu yang kami tanya, di dekat tempat itu terdapat langgar. Dalam bayangan saya, langgar yang ada di sana adalah sebuah bangunan kotak kecil berdinding putih, beratap tumpang, atau berupa pendapa kecil. Ketika sampai di sana, bangunan seperti itu tidak ada. Yang ada adalah beberapa rumah penduduk, dan satu bangunan yang paling berbeda dari bangunan lain. Berbentuk persegi, berdinding anyaman bambu, bertiang kayu. Itulah langgar yang dimaksud. Kotak kecil di salah satu sisinya menunjukkan bahwa itu adalah langgar, dan kotak itu sebagai mihrab dan penunjuk arah kiblat. Langgar yang sangat bersahaja, menurut saya. Menghadap ke Yang Maha Kuasa, harta benda tak akan ada artinya ... Di sana kami disambut oleh bapak pemilik rumah yang ramah, khas penduduk desa.
Selain bekas singgasana, kami mendapat info tentang adanya pura di daerah itu. Dari tempat pertama, kami berjalan ke selatan, kemudian ke timur (karena melihat langgar, kami jadi tahu arah mata angin :D). Menurut tulisan yang tertera, tempat itu bernama Situs Petilasan Ki Ageng Mangir Wonoboyo. Melewati pintu gerbang yang mirip dengan gerbang di singgasana, kami melihat beteng yang di dalamnya terdapat rerumputan yang cukup luas. Hijau sekali. Pas banget untuk terapi mata lelah. Sejuk dan enak dipandang ...
Pura yang dimaksud berada agak jauh dari pintu gerbang. Di tengah-tengah, terdapat bangunan utama dengan pintu warna emas yang digembok. Di sebelah kanannya terdapat lingga yoni, dan sebelah kirinya terdapat patung lembu yang berukuran kecil.
Tidak terasa, hari sudah mulai gelap, dan perut sudah keroncongan dari tadi. Awalnya, kami mencari tempat makan yang direkomendasikan Mbak Ida, yaitu warung makan Bu Angkat dengan menu andalan ikan wader. Tapi ternyata tutup. Akhirnya kami menemukan tempat makan di tepi kali Progo. Tempatnya bagus, dan itu adalah satu-satunya warung makan terdekat. Mengobati kekecewaan tutupnya warung Bu Angkat, kami mencoba menu wader goreng, mangut belut dan kutuk. Ikan-ikan khas pinggir kali.
Nyam-nyam ... usai sudah perjalanan refreshing hari itu. Akhir kata, jalan-jalan belum lengkap tanpa narsis. Berikut ini bukti kenarsisan kami. Hehehe ...
Foto-foto dari juru kamera: Lista, Eska, Agung, Fajri, Imam
Hari Ahad kemarin, saya dan teman-teman jalan-jalan ke petilasan Ki Ageng Mangir di desa Mangir. Belum ada yang pernah ke sana sebelumnya. Hanya berbekal arahan dari teman dan mbah Google. Tempatnya dekat dengan kali Progo. Berada di tengah-tengah pedesaan yang jarak satu rumah ke rumah lainnya masih berjauhan. Sebagian besar mata pencaharian penduduk adalah tani, sehingga kami melewati hamparan sawah yang luas. Sudah menguning, tapi masih didominasi warna hijau. Wow banget. Tapi lupa tidak terekam kamera :D
Dari jalan besar, kami diberi petunjuk berupa pos ronda, jembatan, belokan, belokan, dan belokan. Ketika sudah melihat sungai besar, berarti lokasi sudah dekat.
"Lurus saja, ikuti jalan utama, ketemu jalan aspal, belok kanan" tutur ibu-ibu di tepi jalan. Penanda utama lokasi tersebut adalah sebuah pintu gerbang dari batu bata. Obyek yang pertama kami datangi adalah singgasana Ki Ageng Mangir yang berupa batu berbentuk persegi. Batu tersebut berada di bawah bohon, dikelilingi pagar putih.
Menurut ibu-ibu yang kami tanya, di dekat tempat itu terdapat langgar. Dalam bayangan saya, langgar yang ada di sana adalah sebuah bangunan kotak kecil berdinding putih, beratap tumpang, atau berupa pendapa kecil. Ketika sampai di sana, bangunan seperti itu tidak ada. Yang ada adalah beberapa rumah penduduk, dan satu bangunan yang paling berbeda dari bangunan lain. Berbentuk persegi, berdinding anyaman bambu, bertiang kayu. Itulah langgar yang dimaksud. Kotak kecil di salah satu sisinya menunjukkan bahwa itu adalah langgar, dan kotak itu sebagai mihrab dan penunjuk arah kiblat. Langgar yang sangat bersahaja, menurut saya. Menghadap ke Yang Maha Kuasa, harta benda tak akan ada artinya ... Di sana kami disambut oleh bapak pemilik rumah yang ramah, khas penduduk desa.
Selain bekas singgasana, kami mendapat info tentang adanya pura di daerah itu. Dari tempat pertama, kami berjalan ke selatan, kemudian ke timur (karena melihat langgar, kami jadi tahu arah mata angin :D). Menurut tulisan yang tertera, tempat itu bernama Situs Petilasan Ki Ageng Mangir Wonoboyo. Melewati pintu gerbang yang mirip dengan gerbang di singgasana, kami melihat beteng yang di dalamnya terdapat rerumputan yang cukup luas. Hijau sekali. Pas banget untuk terapi mata lelah. Sejuk dan enak dipandang ...
Pura yang dimaksud berada agak jauh dari pintu gerbang. Di tengah-tengah, terdapat bangunan utama dengan pintu warna emas yang digembok. Di sebelah kanannya terdapat lingga yoni, dan sebelah kirinya terdapat patung lembu yang berukuran kecil.
Tidak terasa, hari sudah mulai gelap, dan perut sudah keroncongan dari tadi. Awalnya, kami mencari tempat makan yang direkomendasikan Mbak Ida, yaitu warung makan Bu Angkat dengan menu andalan ikan wader. Tapi ternyata tutup. Akhirnya kami menemukan tempat makan di tepi kali Progo. Tempatnya bagus, dan itu adalah satu-satunya warung makan terdekat. Mengobati kekecewaan tutupnya warung Bu Angkat, kami mencoba menu wader goreng, mangut belut dan kutuk. Ikan-ikan khas pinggir kali.
Nyam-nyam ... usai sudah perjalanan refreshing hari itu. Akhir kata, jalan-jalan belum lengkap tanpa narsis. Berikut ini bukti kenarsisan kami. Hehehe ...
Foto-foto dari juru kamera: Lista, Eska, Agung, Fajri, Imam
Akses jalan gimana, mobil isa sampai lokasi
BalasHapus